Monday, 21 November 2016

Sistematika dan Pokok-Pokok Isi Tri Misi dan Inti Misi Koperasi Indonesia Berdasarkan UU No.25 Tahun 1992

Tri misi dan inti misi tersebut kemudian terjabar dalam batang tubuh yang terdiri dari 14 bab dan 67 pasal. Apabila ditelaah sistematika dan pokok-pokok isinya adalah sebagai berikut:
a)      Aspek Ideologi (pasal 1 s.d. pasal 5)
Pasal 1 ayat 1 pengertian koperasi adalah badan anggota yang beranggotakan orang-seorang atau badan hukum koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasar atas asas kekeluargaan.
Pasal 4 ayat c fungsi dan peran koperasi adalah memperkokoh perekonomian rakyat sebagai dasar kekuatan dan ketahanan perekonomian nasional dengan koperasi sebagai soko gurunya.
Pasal 5 tentang prinsip koperasi ayat 1e (kemandirian), ayat 2a dan 2b (pendidikan perkoperasian dan kerjasama antar koperasi).
b)      Aspek Kelembagaan (pasal 6 s.s. pasal 40)
Pasal 14 ayat 1 untuk keperluan pengembangan dan atau efisiensi usaha, satu koperasi atau lebih dapat: (a) mengembangkan diri menjadi satu dengan koperasi lain, atau (b) bersama koperasi lain meleburkan diri dengan membentuk koperasi baru.
Pasal 15 tentang bentuk, koperasi dapat berbentuk koperasi primer dan sekunder.
Pasal 16 tentang jenis didasarkan pada kesamaan kegiatan dan kepentingan ekonomi anggota.
Pasal 17 tentang keanggotaan, anggota koperasi adalah pemilik dan sekaligus pengguna jasa koperasi.
Pasal 21 tentang perangkat organisasi, terdiri dari Rapat Anggota, Pengurus, dan Pengawas.
Pasal 23 tentang tugas Rapat Anggota, ayat (e) pengesahan pertanggungjawaban Pengurus dalam melakasanakan tugasnya, ayat (f) pembagian SHU, ayat (g) penggabungan, peleburan, pembagian, dan pembubaran koperasi.
Pasal 32 tentang Pengurus, ayat (1) pengurus dapat mengangkat pengelola yang diberi wewenang dan kuasa untuk mengelola usaha.
Pasal 33 hubungan anatara pengelola usaha dengan pengurus merupakan hubungan kerja atas dasar perikatan.
Pasal 40 tentang Pengawas, koperasi dapat meminta jasa audir kepada akuntan publik.
c)      Aspek Permodalan (pasal 41 dan pasal 42)
Pasal 41 ayat (2d) modal sendiri dapat berasal dari hibah.
Pasal 41 ayat (4d) modal pinjaman dapat berasal dari penerbitan obligasi dan surat utang lainnya.
Pasal 42 ayat 1, selain modal sebagaimana dimaksud dalam pasal 41, koperasi bisa juga melakukan pemupukan modal yang berasal dari modal penyertaan. Pasal-pasal yang menyangkut aspek permodalan dalam UU ini terarah untuk menunjang pembesaran usaha koperasi yang merupakanmisi dariUU ini. Bahkan untuk keperluan ini dapat dilakukan amalgamasi ataupun merger yang menyangkut aspek kelembagaan.
d)     Aspek Usaha (pasal 43 s.d. pasal 45)
Pasal 43 tentang lapangan usaha: (a) usah koperasi adalah usaha yang berkaitan langsung dengan kepentingan anggota untuk meningkatkan usaha dan kesejahteraan anggota, (b) kelebihan pelayanan koperasi dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan anggota masyarakat yang bukan anggota koperasi, (c) koperasi menjalankan kegiatan usaha dan berperan utama disegala bidang kehidupan ekonomi.
Pasal 41 memuat: (1) koperasi dapat menghim[un dana dan menyalurkannya melalui kegiatan usaha simpan pinjam dari dan untuk (a) anggota koperasi yang bersangkutan, (b) koperasi lain dan atau anggotanya; (2) kegiatan uasaha simpan pinjam dapat dilaksanakan sebagai salah satu dan satu-satunya kegiatan usaha koperasi; (3) pelaksanaan kegiatan usaha koperasi diatur lebih lanjut dalam PP.
Kiranya jelas dalam pasal 43 koperasi didorong untuk menangani usaha dalam skala besar yaitu usaha yang tidak hanya melayani kepentingan anggota, tetapi juga melayani kepentingan umum atau masyarakat selama memenuhi kelayakan ekonomi dan tidak merugikan kepentingan anggota. Dengan membesarnya usaha koperasi ini akan secara nyata mempu mewujudkan fungsi dan peran koperasi. Sedangkan pasal 44 mengaah pada pembentukan jaringan usaha koperasi yang dirintis lewat unit usaha simpan pinjam merupakan, karena sampai saat ini usaha simpan pinjam merupakan primadona dari usaha koperasi.
Pasal 45 tentang SHU, ayat (2) SHU setelah dikurangi dana cadangan, dibagikan kepada anggota sebanding dengan jasa usaha yang dilakukan oleh masing-masing anggota pada koperasi serta digunakan untuk pendidikan perkoperasian dan keperluan lain dari koperasi, sesuai dengan keputusan RApat Anggota. Dari ketentuan ini dapat ditangkap adanya pemberian kebebasan pada koperasi untuk mengatur tentang penggunaan SHU dan hal ini sejalan dengan semangat diregulasi.
e)      Aspek Hukum (pasal 46 s.d. pasal 56)
Pasal 55 tentang tanggung jawab anggota, dalam hal terjadi pembubaran koperasi, anggota hanya menanggung kerugian sebatas simpanan pokok, simpanan wajib, dan modal penyertaan yang dimilikinya (tanggung jawab terbatas).
f)       Aspek Idiil (pasal 57 s.d. pasal 59)
Sejalan dengan prinsip kemandirian, maka fungsi Dekopin semakin mengedepan dalam terlibat mendorong kemajuan koperasi. Hal ini Nampak dalam pasal 58 (1) organisasi tersebut melakukan kegiatan: memperjuangkan dan menyalurkan aspirasi koperasi, meningkatkan kesadaran berkoperasi di kalangan masyarakat, melakukan pendidikan perkoperasian di kalangan anggota dan masyarakat, mengembangkan kerja sama antar koperasi dan antara koperasi dengan badan usaha lain, baik pada tingkat nasional maupun internasional; (2) untuk melaksanakan kegiatan tersebut koperasi secra bersama-sama menghimpun dana koperasi.
g)      Aspek Pembinaan (pasal 60 s.d. pasal 64)
Peran pemerintah dalam UU ini tampil dalam bentuk uluran tangan, bukan campur tangan. Pasal 60 (1) pemerintah menciptakan dan mengembangkan iklim dan kondisi yang mendorong pertumbuhan serta pemasyarakatan koperasi, (2) pemerintah memberikan bimbingan, kemudahan, perlindungan kepada koperasi.
Pasal 62, dalam upaya menciptakan dan mengembangkan iklim dan kondisi yang mendorong pertumbuhan dan pemasyarakatan koperasi, pemerintah: (a) memberikan kesempatan usaha yang seluas-luasnya kepada koperasi; (b) meningkatkan dan memantapkan kemampuan koperasi agar menjadi koperasi yang sehat, tangguh, dan mandiri; (c) mengupayakan upaya hubungan usaha yang saling menguntungkan antara koperasi dengan badan usaha lainnya; (d) membudayakan koperasi dalam masyarakat.
Pasal 62, dalam rangka memberikan bimbingan dan kemudahan kepada koperasi, pemerintah: (a) membimbing usaha koperasi yang sesuai dengan kepentingan ekonomi anggotanya; (b) mendorong mengembangkan dan membantu pelaksanaan pendidikan, pelatihan, penyuluhan, dan penelitian perkoperasian; (c) memberikan kemudahan untuk memperkokoh permodalan koperasi serta mengembangkan lembaga keuangan koperasi; (d) membantu pengembangan jaringan usaha koperasi dan kerjasama yang saling menguntungkan anatar koperasi; (e) memberikan bantuan konsultasi guna memecahkan permasalahan yang dihadapi oleh koperasi dengan tetap memperhatikan Anggaran Dasar dan prinsip koperasi.
Pasal 63 ayat (1) dalam rangka pemberian perlindungan kepada koperasi pemerintah dapat: (a) menetapkan bidang kegiatan ekonomi yang hanya boleh diusahakan oleh badan usaha lainnya. Ayat (2) pensyaratan dan tata pelaksanaan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
h)      Ketentuan Peralihan dan Penutupan (pasal 65 s.d. pasal 67)
Sumber:
Inayati, Ro’ufah. 2009. Bahan Ajar Ekonomi Koperasi. Malang: Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Malang.


---*Don’t Forget To Always Smiling J*---

Tri Misi dan Inti Misi Koperasi Indonesia Berdasarkan UU No.25 Tahun 1992

Sebelum mempelajari isi UU No.25/1992 yang tertuang dalam batang tubuhnya (bab, pasal beserta penjelasannya) maka perlu memahami misi dikeluarkannya UU ini. Memahami misi berarti memahami jiwa/semangat dari UU yang bersangkutan. Memahami jiwa/semangat dari UU diketahui dari latar belakang dan tujuan dikeluarkannya UU tersebut. Misi dari UU No.25/1992 penjabarannya akan tertuang dalam batang tubuh. Dengan kata lain, batang tubuh merupakan penjabaran dari misi suatu UU. Oleh karena itu, maka misi dari UU No.25/1992 tertuang dalam konsiderans UU ini beserta penjelasannya apabila dipelajari konsiderans beserta penjelasannya, maka dapat ditangkap adanya tri misi dari UU tersebut yaitu:
·         Memacu mengembangkan usaha
Setelah kehidupan kelembagaan koperasi relatif mencapai kemantapan berkat diberlakukannya UU No.12/1967, maka kemajuan kehidupan koperasi harus ditingkatkan, tidak hanya menyangkut kelembagaan saja, namun juga bidang usahanya. Dengan memacu pengembangan usaha ini, koperasi diharapkan benar-benar dapat berperan sebagai alat perjuangan ekonomi anggota/masyarakat. Sampai saat ini kemantapan kehidupan kelembagaan koperasi belum diimbangi dengan kemajuan bidang usaha koperasi. Oleh karena itu memacu pengembangan usaha koperasi merupakan tuntutan masa depan koperasi dan sekaligus merupakan misi dari UU No.25/1992.
·         Kemandirian
Agar proses memacu pengembangan usaha koperasi tidak mengundang timbulnya isu de ideologi, maka proses tersebut harus berlangsung atau ditempuh melalui kemandirian (yang merupakan ideologi koperasi). Artinya dalam memacu pengembangan usaha koperasi harus lebih mengandalkan penggalangan potensi yang dimiliki oleh gerakan koperasi sendiri, daripada mengharapkan bantuan dari pihak luar. Ini berarti proses memacu pengembangan usaha koperasi harus ditempuh dengan tetap menegakkan jatidiri koperasi, yaitu dari, oleh, dan untuk anggota. Sehubungan dengan misi kemandirian dalam memacu pengembangan usaha koperasi, maka peran pemerintah bergeser dari campur tangan (UU No.12/1967) menjadi uluran tangan (UU No.25/1992).
·         Profesionalisme
Dalam era globalisasi, dimana iklim usaha semakin kompetitif, mengharuskan peningkatan efektivitas dan efisiensi dalam pengelolaan usaha koperasi. Oleh karena itulah koperasi dituntut untuk menangani manajemen koperasi secara profesional.
Adapun inti misi dari UU No.25/1992 yang diambil dari tri misi adalah “membesarkan usaha koperasi dengan tetap menegakkan jatidirinya”. Artinya ialah bahwa membesarkan usaha koperasi yang merupakan masa depan koperasi haruslah dengan tetap menegakkan jatidirinya.
Sumber:
Inayati, Ro’ufah. 2009. Bahan Ajar Ekonomi Koperasi. Malang: Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Malang.

---*Don’t Forget To Always Smiling J*---


Saturday, 12 November 2016

KEGAGALAN PEMERINTAH

Sebagaimana adanya kegagalan pasar, dalam literatur ekonomi publik dibahas pula apa yang disebut dengan kegagalan pemerintah, yaitu kegagalan pemerintah dalam menciptakan kondisi Pareto Optimal. Terdapat beberapa faktor yang menjadi sumber timbulnya kegagalan pemerintah sebagai berikut (Mangkoesoebroto, 1999:9).
1.    Campur tangan pemerintah kadang-kadang menimbulkan dampak yang tidak diperkirakan terlebih dahulu.
Misalnya saja, kebijakan pemerintah dalam mengatur tata niaga cengkeh agar penghasilan petani cengkeh naik, ternyata membawa dampak permintaan tembakau menurun sehingga pendapatan petani tembakau juga turun. Selain itu, kebijakan pemerintah dalam menaikkan harga BBM yang dengan maksud mengurangi subsidi terhadap harga BBM, ternyata membawa dampak pada meningkatnya harga-harga barang kebutuhan pokok lainnya meningkat pula.
2.   Campur tangan pemerintah memerlukan biaya yang tidak murah, oleh karena itu maka campur tangan pemerintah harus dipertimbangkan manfaat dan biayanya secara cermat agar tidak lebih besar daripada biaya masyarakat tanpa adanya campur tangan pemerintah.
Misalnya saja, program pemerintah mengenai E-KTP. Biaya yang dibutuhkan dalam pelaksanaan program tersebut memerluakan biaya yang tidak sedikit, akan tetapi manfaat yang dirasakan oleh masyarakat dari E-KTP tersebut tidak jauh berbeda dengan KTP yang ada sebelumnya.
3.  Adanya kegagalan dalam pelaksanaan program pemerintah. Pelaksanaan program pemerintah memerlukan tender, dan sistem yang kompleks.
Misalnya saja, adanya proyek penelitian pendidikan yang dananya sebesar 10 juta rupiah, akan tetapi sistem administrasi dalam pelaksanaan proyek tersebut sangatlah rumit seperti ketika diperlukan biaya untuk pelaksanaan/pengadaan rapat mengenai proyek tersebut diperlukan biaya konsumsi (snack dan makan siang). Akan tetapi biaya konsumsi berupa snack tersebut hanya dibatasi sebesar Rp 5.000-  dan biaya makan siang akan dicairkan ketika rapat diadakan di atas jam 11 siang. Selain itu ketika membutuhkan peralatan yang digunakan dalam penelitian maka biaya untuk keperluan alat tersebut akan dicairkan dengan syarat adanya surat pernyataan dari pihak pemilik toko bahwa yang bersangkutan (peneliti) benar-benar membeli barang dari toko tersebut disertai biaya belanja/harga barang tersebut. Dengan demikian, adanya sistem administrasi yang kompleks tersebut bisa membuat peneliti merasa enggan untuk meneruskan proyek penelitian. Sehingga terjadi kegagalan dalam pelaksanaan program pemerintah.
4.   Perilaku pemegang kebijakan pemerintah yang bersifat mengejar keuntungan pribadi atau rent seeking behavior.
Misalnya saja, dalam relasi birokrasi dan dunia bisnis, perusahaan yang bisa menciptakan halangan masuk pasar (barrier to entry) dengan cara menguasai sumber daya strategis atau mengupayakan agar tidak ada barang pengganti (subtitusi) akan dapat menikmati laba super normal atau rente yang lebih tinggi. Untuk memperoleh rente yang lebih tinggi, kadang-kadang pengusaha berkolusi dengan penguasa (birokrasi) agar mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang menguntungkan pengusaha. Sebagai balasanannya, pengusaha memberikan imbalan baik berupa uang maupun berupa hadiah kepada penguasa (birokrasi).
Hal-hal di atas dapat disimpulkan bahwa tidak selamanya campur tangan pemerintah menyebabkan terjadinya peningkatan kesejahteraan masyarakat menuju Pareto Optimal. Bahkan sebaliknya, terkadang dapat menjauhi kondisi Pareto Optimal.
Sumber:
Mangkoesoebroto, Guritno. 1999. Ekonomi Publik. Yogyakarta: BPFE Yogyakarta.
Gambar:
https://www.google.co.id/search?q=gambar+kegagalan+pemerintah+untuk+blog&source.

                                                ----*Don’t Forget to Smile :D*----

Friday, 11 November 2016

Masalah Lingkungan Ketiadaan Hak Milik (Milik Bersama)

Kali ini saya akan membahas mengenai masalah lingkungan ketiadaan hak milik (milik bersama) yang berkaitan dengan Ekonomi Sumber Daya Alam.


Situasi pemilikan bersama muncul akibat pihak-pihak yang berkepentingan memperoleh hak milik atas sistem sumber daya alam dan energi untuk memanfaatkan sumber daya alam dan energi tersebut, sedang pemakai potensial lain yang tidak masuk dalam sistem tersebut, dikecualikan. Situasi ini dibedakan dari situasi dimana sumber daya alam dan energi tidak ada yang memiliki karena sumber daya alam dan energi tersebut terbuka bebas bagi pihak-pihak yang ingin memanfaatkannya. Misal diberikannya konsesi mengusahakan minyak lepas pantai pada perusahaan minyak asing. Masing-masing mempunyai batas pengusahaan tertentu. Namun mungkin saja sumber daya minyak di bawah sana merupakan suatu kesatuan, sehingga kemungkinan saja eksploitasi minyak oleh pihak yang satu akan mengurangi hak pihak lain yang berdampingan. Dengan terbukanya sumber daya alam dan energi pada pengusahaan pihak-pihak maka kapital,  akan mengalir terus untuk mengusahakan sumber daya alam dan energi sampai satuan biaya naik dan harga-harga turun sehingga keuntungan murni lenyap. Kemacetan prasarana atau adanya pencemaran lingkungan biasanya dijadikan misalnya pengelolaan sumber daya alam dan energi milik bersama. Kasus lain adalah keindahan alam (Reksohadiprodjo dan Pradono, 1996:181).
1)      Kemacetan Prasarana
Fasilitas umum yang dipakai pihak-pihak yang saling mencampuri kepentingan masing-masing menimbulkan kemacetan. Misalnya saja pada prasarana jalan raya timbul kemacetan karena para pengendara saling tidak mau mengalah sehingga secara fisik saling menghalangi. Ataupun gangguan muncul dalam bentuk psikis misalnya pemandangan baik terganggu karena terlalu banyaknya orang lewat di depan kita. Munculnya kemacetan biasanya terjadi pada fasilitas yang dipakai tersebut dibangun oleh pemerintah yang kapasitasnya sulit diubah dalam jangka pendek untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang cepat berubah. Dengan bertambahnya penduduk, kebutuhannya meningkat sehingga menimbulkan akses-akses negatif berupa kemacetan atau memadati fasilitas. Akibat lebih lanjut adalah meningkatnya biaya pengoperasikan fasilitas sebagai fungsi tingkat pemanfaatan fasilitas. Biaya ini semula ditanggung oleh pengelola publik, tetapi dapat dialihkan pada pemakai melalui tarif/pungutan pemakai fasilitas.
Tabel 2.4.1. Panjang Jalan, Jumlah Penduduk, Luas Wilayah dan Jumlah Kendaraan Bermotor di Indonesia Menurut Pulau Besar Tahun 2012
Pulau Besar
Panjang Jalan (km)
Jumlah
Penduduk
(jiwa)
Luas
Wilayah
(km2)
Jumlah
Kendaraan
Bermotor
(unit)
Nasional
Provinsi
Kabupate/Kota
Jumlah
Sumatera
11.568,12
15.247
142.974
169.789,12
59.205.916
480.793,28
20.857.274
Jawa & Bali
6.146,24
16.153
103.572
125.871,24
136.986.487
135.218,34
47.722.599
Nusa Tenggara
2.038,85
3.580
21.934
27.552,85
10.742.475
67.290,42
2.564.534
Kalimantan
6.363,64
5.730
42.520
54.613,64
16.134.139
544.150,07
6.377.665
Sulawesi
7.799,77
6.274
67.993
82.066,77
20.348.918
188.522,36
7.176.980
Maluku & Malut
1.578,54
3.479
7.508
12.565,54
3.124.602
78.896,53
561.893
Papua & Pap.
Barat
3.074,68
3.179
17.894
24.147,68
5.315.403
416.060,32
630.051








Indonesia
38.569,84
53.642
404.395
496.606,84
251.857.940
1.910.931,32
85.890.996
Sumber: Jalan Nasional: Subdit Informasi dan Komunikasi, Direktorat Jenderal Bina Marga.
Jalan Provinsi dan Kabupaten/Kota: Dinas Pekerjaan Umum Provinsi/Kabupaten/Kota, Statistik Indonesia 2012.
Jumlah Penduduk: Data Agregat Kependudukan per Kecamatan, Kementerian Dalam Negeri, Tahun 2012.
Luas Wilayah dan Jumlah Kendaraan Bermotor: Statistik Indonesia 2012.
Catatan: Jumlah Kendaraan Bermotor terdiri dari mobil penumpang, bus, truk, dan sepeda motor.

Berdasarkan rencana tata ruang pulau/kepulauan yang tercantum dalam PP No. 15 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang, Indonesia terdiri dari pulau-pulau dan gugusan kepulauan yang memiliki satu kesatuan ekosistem. Pulau-pulau besar tersebut sebagaimana yang terdapat pada tabel 4.1.1 dan gambar 4.1a di atas meliputi  Pulau Sumatera, Pulau Jawa dan Bali, Pulau Kalimantan, Pulau Sulawesi, dan Pulau Papua. Sementara gugusan pulau meliputi Kepulauan Maluku, dan Kepulauan Nusa Tenggara. Pada tabel 4.1.1 dan gambar 4.1a di atas jumlah penduduk Indonesia berdasarkan Data Agregat Kependudukan per Kecamatan Tahun 2012 berjumlah 251,86 juta jiwa dengan penyebaran 54,39% di Pulau Jawa dan Bali, 23,51% di Pulau Sumatera, 8,08% di Pulau Sulawesi, 6,41% di Pulau Kalimantan, 4,27% di Nusa Tenggara, 2,11% di Papua dan Papua Barat, serta 1,24% di Maluku dan Maluku Utara. Sementara penyebaran kendaraan bermotor umumnya mengikuti penyebaran penduduk karena berkaitan dengan media transportasi masyarakat. Dengan data tersebut dapat disimpulkan bahwa pengadaan jalan di Indonesia sepanjang 496.606,84 km sehingga jumlahnya masih di bawah jumlah penduduk sebanyak 251.857.940 jiwa. Dari data tersebut memungkinkan untuk terjadinya kemacetan pada parasarana jalan yang disediakan oleh pemerintah. Untuk mengurangi terjadinya kemacetan pemerintah menambah prasarana jalan raya dengan menerapkan kebijakan tarif (toll). Sehingga prasarana jalan raya yang pada awalnya menjadi sumber daya milik bersama  di mana biaya ditanggung oleh pengelola publik dialihakan menjadi milik orang yang hanya dapat membayar bea (toll) saja.

2)      Pencemaran Lingkungan
Lingkungan sekitar terutama lingkungan udara dan badan air merupakan sumber daya milik bersama bagi pembuangan sisa-sisa. Dewasa ini, dengan semakin banyak pencemaran lingkungan, apakah hal tersebut dikarenakan berkembangnya penduduk maupun kegiatan ekonomi seperti kegiatan produksi, distribusi dan konsumsi, dengan demikian semakin sulit untuk menentukan pihak yang bertanggung jawab terhadap pencemaran lingkungan. Masalah ini berbeda sekali dari masalah pemilikan sumber daya alam dan energi dan ada pihak lain yang ingin bergabung menikmatinya. Serta dari masalah pemilikan bersama di mana para pihak masing-masing secara bersama pada suatu saat menikmati sumber daya alam dan energi milik bersama. Di kasus ini para pencemar mengakibatkan gangguan pada para penerima pencemaran dan tidak vice versa.
Pengelolaan pencemaran menendang adanya sedikit pencemaran, tetapi keseimbangan pasar tanpa batasan mungkin mengakibatkatkan tingkat pencemaran yang relatif banyak sehingga manfaat netto pada masyarakat itu negatif. Dengan demikian masalah mlik bersama kasus pencemaran ini mengarah pada kerugian sosial bila sumber daya alam dan energi dimanfaatkan orang. Walaupun situasi ini khusus, namun ciri pemilikan barang masih ada, karena orang lainpun dapat menikmatinya. Masalah yang dapat timbul dari situasi seperti ini ialah bahwa alam yang indah tersebut ternyata di dalamnya mengandung mineral yang berharrga. Dengan demikian pada saat ini, apakah keadaan alam tersebut perlu dilestarikan ataukah tempat tersebut ditenggang untuk pertambangan dengan konsekuensi hilangnya pemandangan yang indah. Hal tersebut inilah yang menyebabkan orang cenderung untuk mengadakan konservasi atau pelestarian lingkungan.

3)      Keindahan/Keajaiban Alam
Dengan semakin jenuhnya orang akan kehidupan berdasarkan materi, sesekali orang ingin menikati keindahan/keajaiban alam. Dengan demikian dibuatlah taman wisata, taman rekreasi dan dicari lingkungan yang indah seperti pemandangan alam untuk dilestarikan. Kegiatan manusia yang merusak lingkungan yang indah dibatasi agar supaya generasi mendatang tidak kehilangan alam yang indah untuk dinikmati bersama. Semua hal tersebut merupakan bagian dari pengelolaan lingkungan secara bertanggung jawab. Seperti diketahui lingkungan yang unik tidak ada atau langka subtitusinya. Dari segi ekonomi, permintaan terhadap barang atau jasa lingkungan seperti itu berlereng curam dan berkarakteristik sebagai permintaan pilihan/khusus kesenangan (option demand). Dinyatakan bahwa pembangunan dan konservasi dapat saling bertentangan sehingga pergerakan konservasi yang ada gagal menjalankan fungsinya.
Menurut John V. Krutilla sebagaimana yang dikutip oleh Sukanto Reksohadiprodjo dan Pradono (1996:186) mendefinisikan konservasi sebagai pemanafaatan antara waktu dan secara optimal “stock” sumber daya alam dan energi yang tetap. Stock ini dapat tetap karena adanya kemajuan teknologi. Dari aspek ini muncul pengertian permintaan khusus (option demand) untuk barang dan jasa lingkungan yang pada hakikatnya tak ada subtitusinya, sehingga perlu dilestarikan. Dengan demikian diperlukan usaha pengelolaan tertentu agar supaya kapasitas mendukungnya tak terlampaui. Sehubungan dengan ini perlu estimasi terhadap fungsi permintaan akan barang atau jasa lingkungan seperti tempat rekreasi, tempat wisata, dan lain-lain. Berbagai teknik telah diciptakan orang untuk mengestimasi permintaan akan barang lingkungan ini, antara lain teknik survei dan teknik biaya perjalanan. Di dalam teknik survei, kesediaan rumah tangga untuk membayar barang dan jasa lingkungan diukur berdasar pada lama waktu mengenal tempat rekreasi, dan pengahasilan rumah tangga. Di dalam teknik biaya perjalanan, banyaknya hari kunjungan tergantung pada penduduk, biaya pulang pergi dari daerah asal ke tempat rekreasi, penghasilan daerah, variabel daya tarik, serta luas daerah.   
Pada hakikatnya masalah sumber daya alam dan energi milik bersama bertalian dengan eksploitasi atau pemanfaatan yang berlebihan sumber daya alam dan energi yang apabila ditelusuri lebih lanjut merupakan eksternalitas negatif, yaitu biaya yang tidak menjadi tanggungan atau diperhatikan oleh mereka yang mengambil keputusan.

Sumber:
Reksohadiprodjo, Sukanto & Pradono. 1996. Ekonomi Sumber Daya Alam dan Energi Edisi 2. Yogyakarta: BPFE Yogyakarta.
Pusat Pengolahan Data (PUSDATA) Kementerian Pekerjaan Umum Republik Indonesia. 2013. Buku Informasi Statistik Pekerjaan Umum 2013. (Online), (http://www.pu.go.id/site/view/72.html) diakses pada tanggal 17 September  2016.

Gambar: https://www.google.co.id/searchq=gambar+ikan+di+laut&espv=2&biw=1024&bih=465&source=lnms&tbm=isch&sa=X&ved=0ahUKEwiE7WtyqLQAhXHwI8KHT53A1sQ_AUIBigB#imgrc=aBYQ4ckZGBSo-M%3A.