Monday 23 January 2017

Pertumbuhan Ekonomi Di Indonesia pada Masa Orde Baru sebagai Implementasi Teori Rostow

A.  Pertumbuhan Ekonomi Di Indonesia pada Masa Orde Baru sebagai Implementasi Teori Rostow
Di Indonesia, teori tahapan ekonomi Rostow pada masa Soeharto dilaksanakan sebagai landasan pembangunan jangka panjang Indonesia yang ditetapkan secara berkala untuk waktu lima tahunan, yang terkenal dengan pembangunan 5 tahun. Dengan demikian, implementasi teori Rostow berdasarkan 5 tahap teori Rostow yaitu: masyarakat tradisional, pra kondisi tinggal landas, tinggal landas, pembangunan, konsumsi tingkat tinggi, menurut Rostow pembangunan ekonomi suatu masyarakat tradisional menuju masyarakat modern merupakan sebuah proses yang berdimensi banyak (Sadono, 2010:167).
Dalam upaya melaksanakan pembangunan di bidang ekonomi, pemerintah Soeharto atau pada masa Orde Baru melaksanakan pembangunan melalui Repelita (Rencana Pembanagunan Lima Tahun). Dalam buku Indonesia Sejak Supersemar dijelaskan bahwa Rencana Pembanguna Lima Tahun 1969-1973 mempunyai sasaran-sasaran pokok yang pada dasarnya meliputi tiga bidang luas yaitu:  
1)      Bidang materiil, yang mencakup pembangunan sektor-sktor agrarian, prasarana, industri, pertambangan dan pariwisata dengan menentukan pula penunjangan setiap usaha di bidang ekonomi pada sektor-sektor tersebut.
2)      Bidang mental dan spiritual.
3)      Bidang pertahanan dan keamanan.
Dalam pelaksanaan ketiga-tiganya dilakukan bersama-sama dan saling menunjang. Sekalipun demikian dari masalah-masalah yang hingga sekarang ada, yang terpenting adalah untuk mengatur kembali dan meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Pembangunan ekonomi pada masa Orde Baru diarahkan pada sektor pertanian. Hal ini dikarenakan kurang lebih 55% dari produksi nasional berasal dari sektor pertanian dan juga 75% pendudukan Indonesia memperoleh penghidupan dari sektor pertanian. Bidang sasaran pembangunan dalam Repelita, antara lain bidang pangan, sandang, perbaikan prasarana, ramah rakyat, perluasan lapangan kerja, dan kesejahteraan rohani.
Jangka waktu pembangunan Orde Baru dapat dibedakan atas dua macam, yaitu program pembangunan jangka pendek dan program pembangunan jangka panjang. Program pembangunan jangka pendek sering disebut Pelita (Pembangunan Lima Tahun), adapaun program pembangunan jangka panjang terdiri atas pembangunan jangka pendek yang saling berkesinambungan.
1.      PELITA I (1 April 1969 – 31 Maret 1974)
Sasaran dari Pelita 1, yaitu meningkatkan pangan, sandang, perbaikan prasarana, perumahan rakyat, perluasan lapangan kerja, dan kesejahteraan rohani. Pelaksanaan Pelita 1 termasuk pembiayaan selalui disetujui DPR dengan membuat Undang-Undang sesuai ketentuan UUD 1945. Keberhasilan dalam Pelita I diantaranya sebagai berikut.
§  Produksi beras mengalami kenaikan rata-rata 4% setahun.
§  Banyak berdiri industri pupuk, semen, dan tekstil.
§  Perbaikan jalan raya.
§  Banyak dibangun pusat-pusat tenaga listrik.
§  Semakin majunya sektor pendidikan
Jika melihat pada tahapan ekonomi menurut Rostow, pada Pelita I ini masuk kedalam kategori masyarakat tradisional karena jika dilihat perekonomian  Indonesia pada saat itu bertumpu pada sektor pertanian. Produksi masih sangat terbatas dan masih bersifat statis.
2.      PELITA II (1 April 1974 – 31 Maret 1979)
Sasaran dari Pelita II adalah sandang, pangan, perumahan, srana dan prasarana, mensejahterakan rakyat, dan memperluas lapangan kerja. Untuk melaksanakan Pelita II, presiden Soeharto kemudian membentuk Kabinet Pembangunan II. Program kerja Kabinet Pembangunan II disebut Sapta Krida Kabinet Pembangunan II,  yaitu meliputi :
§  Meningkatkan stabilitas politik.
§  Meningkatkan stabilitas keamanan.
§  Melanjutkan Pelita I dan melaksanakan Pelita II.
§  Meningkatkan kesejahteraan rakyat.
§  Melaksanakan pemilihan umum.
Pelita II berhasil meningkatkan pertumbuhan ekonomi rata-rata penduduk 7% setahun. Perbaikan dibidang irigasi, dan juga kenaikan produksi dibidang industri. Serta banyak jalan- jalan dan jembatan yang dibangun dan diperbaiki. Pada Pelita II ini terlihat adanya peningkatan dari Pelita I walaupun masih belum banyak.
3.      PELITA III (1 April 1979 – 31 Maret 1984)
Sasaran pokok Pelita III diarahkan pada trilogi pembangunan dan delapan jalur pemerataan.
a.      Trilogi pembangunan mencakup:
§  Pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya menuju terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
§  Pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi.
§  Stabilitas nasional yang sehat dan dinamis
b.      Delapan jalur pemerataan mencakup:
§  Pemerataan pemenuhan kebutuhan pokok, yaitu sandang, pangan dan perumahan bagi rakyat banyak.
§  Pemerataan kesempatan memperoleh pelayanan pendidikan dan kesehatan.
§  Pemerataan pembagian pendapatan.
§  Pemerataan memperoleh kesempatan kerja.
§  Pemerataan memperoleh kesempatan berusaha.
§  Pemerataan kesempatan berpartisipasi dalam pembangunan khususnya bagi generasi muda dan kaum wanita.
§  Pemerataan penyebaran pembangunan di wilayah Indonesia.
§  Pemerataan memperoleh keadilan
Pada tahap Pelita III ini Indonesia mencoba untuk berada pada posisi Pra Lepas Landas yang dikemukakan oleh Rostow dalam tahapan ekonomi. Meskipun pada saat itu belum maksimal.
4.      PELITA IV (1 April 1984 – 31 Maret 1989)
Titik berat Kabinet Pembangunan IV adalah pembangunan sektor pertanian untuk melanjutkan usaha-usaha menuju swasembada pangan dan meningkatkan industri yang dapat menghasilkan mesin-mesin industri ringan maupun industri berat.
Sasaran pokok Pelita IV yaitu sebagai berikut.
§  Bidang politik, yaitu berusaha memasyarakatkan P4 (Pedoman, Penghayatan, dan Pengamalan Pancasila).
§  Bidang pendidikan, menekankan pada pemerataan kesempatan belajar dan meningkatkan mutu pendidikan.
§  Bidang keluarga berencana (KB), menekankan pada pengendalian laju pertumbuhan penduduk yang dapat menimbulkan masalah nasional.
Pada tahun 1984 Indonesia berhasil memproduksi beras sebanyak 25,8 ton dan berhasil swasembada beras. Sehingga dengan kesuksesan ini Indonesia mendapat penghargaan dari FAO (Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia) pada tahun 1985.
5.      PELITA V (1 April 1989 – 31 Maret 1994)
Titik berat Pelita V adalah meningkatkan sektor pertanian untuk memantapkan swasembada pangan dan meningkatkan produksi hasil pertanian lainnya serta sektor industri, khususnya industri yang menghasilkan barang untuk ekspor, industri yang banyak tenaga kerja, industri pengolahan hasil pertanian, dan industri yang dapat menghasilkan mesin-mesin industri menuju terwujudnya struktur ekonomi yang seimbang antara industri dengan pertanian, baik dari segi nilai tambah maupun dari segi penyeraan tenaga kerja.
Pada tahap inilah Indonesia berada pada tahap Pra Lepas Landas, dimana perkembangan ekonominya dititik beratkan pada produksi pertanian dan industri. Tujuan utama dari Pelita V yaitu untuk memantapkan dan memaksimalkan apa yang telah berhasil dicapai pada Pelita IV.
6.      PELITA VI
Pelita VI merupakan awal pembangunan jangka panjang kedua ini pada akhirnya membuat Indonesia menapaki tahap-tahap perkembangan selanjutnya, yakni tahap menuju kedewasaan dan tahap konsumsi tinggi. Tahapan menuju kedewasaan ini bisa dilihat dengan mulai munculnya industri dengan teknologi baru, misalnya industri kimia dan industri listrik.

Sumber:

Sadono, S. 2010. Ekonomi Pembangunan. Jakarta: Kencana.

Efektifnya Jumlah Bank Di Indonesia

A.    Efektifnya Jumlah Bank Di Indonesia
Sebagaimana yang telah disebutkan di atas bahwa Bank Indonesia menjadi otoritas meneter yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran, kewenangan tersebut menjadi pedomana bagi sistem perbankan yang ada di Indonesia.  Selain itu Bank Indonesia memiliki peran vital dalam menciptakan kinerja lembaga keuangan yang sehat, khususnya perbankan. Penciptaan kinerja lembaga perbankan seperti itu dilakukan melalui mekanisme pengawasan dan regulasi. Pengawasan terhadap perbankan saat ini dilaksanakan oleh lembaga dengan nama Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Sebagaimana yang telah kita ketahui bahwa jumlah bank yang ada di Indonesia berjumlah lebih dari seratus. Tepatnya pada maret tahun 2015, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat bank di Indonesia berjumlah 119 bank. Dari jumlah tersebut, sebanyak 56 bank hanya memiliki modal di bawah Rp 100 miliar. Sementara 4 bank yang memiliki modal di atas Rp 30 triliun, dan sisanya bermodal Rp 1 triliun–Rp 30 triliun. Hal ini oleh OJK perbankan di Indonesia dianggap terlalu gemuk. Dengan demikian, OJK bertekad untuk merampingkan jumlah bank di Indonesia melalui program Masteplan Jasa Keuangan Indonesia (MPJKI). Targetnya dalam tempo 10 tahun mendatang, jumlah bank di Indonesia akan menyusut hingga 50% dari jumlah bank yang ada saat ini. Sehingga dalam 10 tahun mendatang jumlah bank yang ada di Indonesia yang tersisa tinggal 59 hingga 60 bank saja. Berdasarkan hitungan OJK, jumlah tersebut ideal bagi perbankan nasional yang saat ini dianggap terlalu gemuk. Pemangkasan jumlah bank tersebut akan dilaksanakan melalui merger, akuisisi, dan konsolidasi. Dalam hal ini OJK akan memberikan insentif bagi bank yang melakukan aksi tersebut. Nantinya, otoritas akan membolehkan investor asing memiliki lebih dari 40% saham bank lokal. Adapun persyaratannya yaitu investor wajib mengakuisisi lebih dari satu bank.
Menteri Perekonomian Khairul Tanjung (2014) mengatakan bahwa “saat tren di dunia global adalah tak perlu jumlah bank banyak, namun ukurannya harus besar dan kuat.” Dalam hal ini tren membentuk bank besar melalui konsolidasi seperti merger raksasa di Malaysia juga dilakukan di sejumlah Negara di Eropa, Asia dan Amerika. Dengan demikian melalui kebijakan OJK Indonesia harus mampu menuju ke arah sana, karena jumlah bank di Indonesia yang lebih dari seratus tersebut terlalu banyak yang disebabkan ukurannya kecil-kecil. Bank di Indonesia yang ukurannya besar yaitu Bank Mandiri yang masih urutan 11 di ASEAN. Namun, untuk bisa berbicara banyak di ASEAN Economic Community bank di Indonesia harus menguasai 10 besar bank terbesar di ASEAN. Dalam pelaksanaan merger tersebut tidak dapat dipaksakan dan harus ada persetujuan dari pemegang saham. Seharusnya pemegang saham tidak perlu takut presentasi sahamnya kecil pada sebuah bank hasil merger, karena kecil presentasinya namun nilanya besar. Merger akan meningkatkan efisiensi dan meningkatkan produktivitas. Nilai tambah saham dari pemilik bank akan menjadi lebih baik.
Melalui kebijakan OJK, pemerintah mendorong iklim agar pemilik bank di Indonesia melakukan konsolidasi seperti merger sehingga dihasilkan bank yang kuat di dalam negeri. Jumlah bank yang ada menjadi sedikit tetapi ukurannya menjadi besar. Sehingga mampu bersaing baik di lingkup nasional maupun internasional. Dalam hal Negara dan penduduknya yang jauh lebih kecil dari pada Indonesia, Singapura memiliki bank terbesar di ASEAN. Indonesia yang memiliki produk domestik bruto (PDB) lebih besar masih belum mampu seperti Negara Singapura. Pada tahun 2020 indusri perbankan di ASEAN akan dibuka bebas. Dalam hal ini Indonesia harus mempunyai bank yang besar dan kuat sehingga dapat bersaing dengan bank-bank besar dari Negara lain, terutama dari Negara Singapura yang notabennya menguasai bank-bank besar di ASEAN. Di Indonesia terdapat3 (tiga) bank yang masuk 15 besar di ASEAN yaitu Bank Mandiri, Bank Rakyat Indonesia (BRI), dan Bank Central Asia (BCA). Dari sisi modal Bank Mandiri nomor 8 di ASEAN dengan modal US$ 7,3 miliar, diikuti BRI di nomor 10 dengan modal US$ 6,5 miliar, dan BCA di nomor 15 dengan modal US$ 5,3 miliar. Sementara dari sisi kapitalisasi pasar, BCA peringkat 6 senilai US$ 19,4 miliar, diikuti Bank Mandiri peringkat 8 senilai US$ 15,1 miliar, kemudian BRI peringkat 10 dengan nilai US$ 14,7 miliar. Sedangkan dari sisi asset bank di Indonesia masih kalah dengan bank di Singapura. Pada tahun 2013 di Indonesia jumlah bank sebanyak 120 bank, sedangkan di Malaysia memiliki 8bank serta di Singapura hanya memiliki 3 bank dan semuanya menjadi raja bank di ASEAN. Selain itu penetrasi bank-bank asing di Indonesia sudah sangat besar. Hal tersebut terlihat dari dominasi cabang bank-bank asing yang ada di Indonesia saat ini. Dari data Bank Mandiri, kantor cabang bank-bank milik asing saat ini mencapai 43,4% dari total kantor cabang bank-bank yang beroperasi di Indonesia. Hal tersebut harus menjadi perhatian khusus dari badan pengawas perbankan dalam hal pemberian izin pendirian bank agar tercipta efisiensi terhadap perbankan di Indonesia.

Sumber:
Media Bisnis. 2014, 10 September.  Jumlah Bank Di Indonesia Terlalu Banyak. (Online), (http://kinerjabank.com/jumlah-bank-di-indonesia-terlalu-banyak) diakses pada tanggal 07 Februari 2016.
Redaksi. 2014, 27 November. OJK Akan Mengurangi Jumlah Bank di Indonesia. (Online), (http://www.redaksi@katadata.co.id/OJK-akan-mengurangi-jumlah-bank-di-indonesia.html) diakses pada tanggal 07 Februari 2016.
Gambar:https://www.google.co.id/search?q=gambar+bank+di+indonesia&tbm=isch&imgil=v7A_9F6Xaay2fM%253A%253BaB-oCAOYeXG7_M%253Bhttp%25253A%25252F%25252Fkekunaan.blogspot.com%25252F2014%25252F03%25252Fgedung-bank-indonesia-medan.html&source=iu&pf=m&fir=v7A_9F6Xaay2fM%253A%252CaB-oCAOYeXG7_M%252C_&usg=__xnVwt-3N4F9vHhwpii10koGKAaA%3D&biw=1024&bih=509&ved=0ahUKEwiVnYyyoNjRAhWIuY8KHd6uDEcQyjcINA&ei=CvWFWJXwDIjzvgTe3bK4BA#imgdii=v7A_9F6Xaay2fM%3A%3Bv7A_9F6Xaay2fM%3A%3BOkrCOWnkyfZZYM%3A&imgrc=v7A_9F6Xaay2fM%3A